Selasa, 01 Februari 2011

Berdasarkan Amanat UUPA

Sejak penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 oleh pihak RI dan GAM, Aceh memasuki fase baru setelah bertahun-tahun didera konflik bersenjata. Masyarakat Aceh mulai dapat mengecap indahnya makna perdamaian tanpa letusan senjata dan ketakutan. MoU Helsinki juga merupakan titik tolak baru bagi Aceh dalam membenah diri dari keterpurukan dan ketertinggalan dari daerah lainnya. Sejak saat itu pula terjadi perubahan drastis dalam banyak lini kehidupan masyarakat Aceh, salah satunya menyangkut kewenangan politik yang diberikan oleh pemerintah pusat sebagai tindak lanjut klausul nota kesepahamanan yang telah diteken.
Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan payung hukum Pemerintah Aceh dalam menjalankan roda pemerintahan yang merupakan wadah semangat MoU Helsinky. Didalam UUPA telah diatur berbagai hak dan kewenangan yang sangat luas bagi Aceh yang sudah barang tentu membawa angin segar bagi rakyat Aceh. Tinggal bagaimana stakeholders Aceh mengelola demi percepatan kesejahteraan rakyat Aceh dan perdamaian yang abadi.
Klausul-klausul yang dimuat dalam MoU yang kemudian dituangkan dalam UUPA, untuk implementasinya juga dibutuhkan regulasi turunan yang dirumuskan secara bersama-sama eksekutif dan legislatif Aceh. Dalam Pasal 22 s/d Pasal 38 BAB VII UUPA disebutkan bahwa DPRA dan DPRK sebagai salah satu Penyelenggara Pemerintah di Daerah, mempunyai peranan yang cukup penting di dalam merumuskan, menyimpulkan, dan mengawasi setiap kebijakan di Aceh.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/DPRA (dulunya DPRD), adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Aceh yang menjalankan tugas Legislasi, penganggaran dan pengawasan. DPRA ini memiliki alat kelengkapan yang terdiri dari Pimpinan Dewan, Komisi-komisi, Panitia Anggaran, Panitia Musyawarah, Badan Kehormatan, Panitia Legislasi, Panitia Khusus dan alat kelengkapan lainnya yang diperlukan.
Para anggota Dewan (termasuk anggota DPRA) diwajibkan untuk mempublikasikan, menghormati, melindungi serta menampung setiap aspirasi dari masyarakat, kemudian juga diharuskan untuk memenuhi hak tersebut di dalam melahirkan suatu kebijakan. Ketentuan itu diatur dan ditegaskan di dalam sumpah/janji Anggota DPRA yang terdapat pada Pasal 28 ayat (2) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Legislasi Aceh
Dalam melakukan kewenangan legislasinya, DPRA menggunakan asas prioritas dan pengutamaan isu-isu tertentu. Isu-isu utama dan dianggap harus didahulukan perumusannya itu kemudian disusun kedalam daftar list qanun prioritas dalam Program Legislasi Aceh (Prolega). Selanjutnya, DPRA merumus, menyusun dan mengesahkan suatu qanun didasarkan pada asas prioritas dan kemendesakan kebutuhan kekinian Aceh.
Di awal tahun 2007, Legislatif Aceh menyusun daftar Qanun Aceh yang merupakan implementasi dari UUPA, ada 59 Qanun Aceh yang nantinya akan di bahas selama 5 tahun (2007-2012). Di tahun 2007, legislatif Aceh menyusun daftar prioritas Qanun Aceh sebanyak 17 Qanun yang akan dibahas, namun sampai di penghujung tahun 2007 DPRAceh hanya berhasil membahas dan mensahkan Qanun Aceh berjumlah 8 Qanun Aceh (periode Maret-November 2007).
Selanjutnya, di tahun 2008 DPRAceh kembali menyusun daftar prioritas qanun yang akan dibahas di tahun 2008 sebanyak 28 Qanun Aceh, terdiri dari 9 qanun sisa prioritas 2007 ditambah 19 qanun yang menjadi prioritas 2008. Namun demikian, lagi-lagi DPRAceh kita hanya mampu mensahkan 10 Qanun Aceh.
Kemudian, dipenghujung masa jabatannya tahun 2009 DPRAceh kembali menyusun daftar prioritas Qanun Aceh, dan hanya 12 Qanun Aceh yang masuk pembahasan oleh para legislatif terhormat kita. Kesemua Qanun prioritas 2009 merupakan sisa-sisa pembahasan qanun yang tidak habis dibahas di tahun 2007 dan 2008, bisa dikatakan bahwa para Legislatif Aceh tidak bisa mnyelesaikan amanat UUPA dengan baik.
Sampai dengan periode Juli 2009, DPRA hanya mensahkan sedikitnya 3 Qanun Aceh saja. Tentunya dari keseluruhan daftar prioritas qanun yang menurut DPRA terhormat kita bisa terselesaikan, hanya 20 Qanun Aceh dari total 59 Qanun Aceh, dan ini bisa menunjuknya nilai raport DPRA yang cukup baik dalam prioritas Qanun Aceh setiap tahunnya. Berikut adalah Qanun Aceh yang telah di sahkan oleh para anggota dewan terhormat kita.
Jumlah Qanun Aceh yang Dihasilkan Setiap Tahunnya (Maret 2007 – Juli 2009):
Nomor Qanun Tentang
TAHUN 2007
Qanun Aceh No. 01 Tahun 2007 Anggaran Pendapatan Belanja Aceh
Qanun Aceh No. 02 Tahun 2007 Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Prov. Nanggroe Aceh Darussalam
Qanun Aceh No. 03 Tahun 2007 Tata Cara Pembentukan Qanun
Qanun Aceh No. 04 Tahun 2007 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Prov. Nanggroe Aceh Darussalam
Qanun Aceh No. 05 Tahun 2007 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Daerah Prov. NAD
Qanun Aceh No. 06 Tahun 2007 Perubahan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Aceh
Qanun Aceh No. 07 Tahun 2007 Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh
Qanun Aceh No. 08 Tahun 2007 Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Partai Politik Lokal
Qanun Aceh No. 09 Tahun 2007 Pendelegasian Kewenangan Pemerintah Aceh Kepada Dewan Kawasan Sabang
Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 Baitul Mal


TAHUN 2008
Qanun Aceh No. 01 Tahun 2008 Pengelolaan Keuangan Aceh
Qanun Aceh No. 02 Tahun 2008 Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus
Qanun Aceh No.03 Tahun 2008 Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota
Qanun Aceh No. 04 Tahun 2008 Anggaran Pendapatan Belanja Aceh
Qanun Aceh No. 05 Tahun 2008 Penyelenggaraan Pendidikan
Qanun Aceh No. 06 Tahun 2008 Administrasi Kependudukan
Qanun Aceh No. 07 Tahun 2008 Perubahan Terhadap APBA
Qanun Aceh No. 08 Tahun 2008 Pelayanan Publik
Qanun Aceh No. 09 Tahun 2008 Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat
Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 Lembaga Adat
Qanun Aceh No. 11 Tahun 2008 Perlindungan Anak
Qanun Aceh No. 12 Tahun 2008 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


TAHUN 2009
Qanun Aceh No. (*) Tahun 2009 Majelis Permusyawaratan Ulama
Qanun Aceh No. (*) Tahun 2009 Pemilihan Mukim
Qanun Aceh No. (*) Tahun 2009 Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik




Sumber : Dokumentasi ACSTF
(*) belum dikeluarkannya Nomor Qanun Aceh oleh Pemerintah Pusat- Jakarta.
Peningkatan ini sebenarnya bukan penanda bahwa DPRA telah bekerja keras dalam memproduksi Qanun Aceh. Dari daftar 20 Qanun Aceh, sebagian di antaranya merupakan jenis Qanun Aceh yang hanya membutuhkan pembahasan secara sederhana, yaitu 2 Qanun Aceh tentang Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA), 2 Qanun Aceh tentang Perubahan terhadap APBA, empat Qanun Aceh hanya berlaku kedalam jajaran pemerintah Aceh dan tidak berdampak luas bagi masyarakat Aceh, bila dilihat kembali hanya beberapa Qanun Aceh yang masuk dalam kewenangan khusus Aceh, sebagaimana telah dimandatkan dalam UUPA.
Analisis terhadap kualitas kinerja legislasi DPRA juga menunjukkan bahwa lembaga perwakilan rakyat ini masih jalan di tempat. Peningkatan sarana pendukung bagi para anggota dewan ternyata belum berhasil membuat DPRA lebih serius menaruh kepedulian terhadap upaya mensejahterakan rakyat. Minimnya jumlah Qanun Aceh di bidang pelayanan kesehatan, KKR, HAM, ecosob dan syariat islam yang belum berhasil diselesaikan sedikit banyak menunjukkan ketidakseriusan tersebut.
Di sisi lain, apresiasi harus diberikan bagi DPRA atas hasil positif yang mereka capai, yaitu telah selesai dibahas dan disahkannya beberapa Qanun Aceh terkait reformasi kelembagaan Pemerintah Aceh. Beberapa Qanun Aceh tersebut antara lain mengatur mengenai pemilihan umum anggota legislative partai politik dan partai politik lokal, Bantuan Keuangan bagi partai politik dan partai politik lokal, dan pendelegasian kewenangan Sabang, serta pembentukan lembaga Adat dan Tata cara pemilihan dan pemberhentian aparatur Desa.
Partisipasi Publik
Partisipasi masyarakat sudah diatur di dalam Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahkan khusus untuk Aceh, ada penegasan pada Pasal 238 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dengan bunyi:
  1. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.
  2. Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik.
Pasal diatas merupakan terobosan yang luar biasa dan harus didukung implementasinya, agar Aceh menjadi contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Pengaturan mengenai hak partisipasi publik dalam UU no.11/2006 dan UU no.10/2004, juga sudah dijabarkan berbagai aturan pelaksananya. Qanun No.3/2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (pasal 23, pasal 24, pasal 25, dan pasal 26) menegaskan mekanisme masyarakat berpartisipasi.
Pasal 25 menegaskankan proses partisipasi publik dapat dilakukan melalui Forum Seminar, Lokakarya, Focus Group Discussion (FGD), Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU), dan bentuk-bentuk penjaringan aspirasi publik lainnya. Dan batas waktu yang ditentukan berdasarkan pasal-pasal yang menyangkut partisipasi paling lama hanya 7 (tujuh) hari sejak DPRA/DPRK melakukan penyebarluasan draft rancangan qanun.
Selain pasal-pasal diatas, Qanun Tata Cara Pembentukan Qanun ini juga menjamin ruang partsipasi masyarakat dalam berbagai proses pembangunan, yang muatannya ditegaskan dalam banyak pasal disetiap bab (bidang) tertentu dalam qanun itu. Disamping qanun, jaminan partisapasi ini juga dikuatkan dalam Tatip DPRA.
Bila ditilik dari kebijakannya, partisipasi publik diakui dan memiliki kelegalan dengan lahirnya Qanun Nomor 3 Tahun 2007, tetapi dilapangan seringkali hak publik tersebut di akali (kalau tidak bisa dikatakan dikebiri) dengan berbagai alasan. Keterbukaan para anggota dewan tidak merata, yang ini menunjukkan belum sepahamnya para anggota dewan terhadap akses publik yang diamanatkan regulasi. Terjadi fluktuatif tingkat penerimaan anggota DPRA terhadap partisipasi masyarakat sipil yang mencoba mengikuti dan mengawal proses perumusan dan penyusunan suatu qanun.
Partisipasi publik di Aceh, awal tahun 2006 sangat responsif dimata para anggota dewan terhormat, ini bisa dilihat betapa besarnya partisipasi masyarakat dalam mengadvokasikan UUPA. Begitu juga ditahun-tahun selanjutnya, walau kadangkala ada alasan yang dikemukakan para anggota dewan bahwa partisipasi memang hak rakyat yang harus dihormati, tetapi menurut mereka tidak pada semua tahapan perumusan regulasi masyarakat terlibat.
Ada istilah rapat internal, rapat panitia musyawarah, rapat terbatas yang tidak bisa diakses publik. Padahal seringkali isu yang sedang dibahas dalam rapat itu berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak. Sikap welcome dan responsif ini juga masih ditunjukkan sampai dengan awal tahun 2008. Namun, apa yang terjadi dibulan-bulan selanjutnya, bahwa para anggota dewan sudah mulai tertutup dalam membahas suatu Qanun Aceh, tentunya kondisi ini mencerminkan bahwa bandul keterbukaan mengalami surut kebelakang yang tentu saja merugikan masyarakat dan demokrasi dikadali.
Tentunya, bukan kondisi ini tidak kita inginkan. Posisi anggota dewan sebagai penyambung lidah masyarakat haruslah selalu terbuka dengan keterlibatan publik, karena merekalah corong suara rakyat yang harus diperjuangkan. Masyarakat yang ketika pemilihan menjadi konsituen para wakil rakyat harus direspon dengan baik oleh dewan di parlemen. Hendaknya sikap terbuka anggota dewan harus terus dirawat dan didorong bersama untuk akomodatif dan partisipatifnya kebijakan yang dilahirkan.
Rekomendasi untuk DPR Aceh periode 2009-2014
Parlemen baru yang terpilih pada pemilu 9 April 2009 kemarin tinggal menunggu pelantikan yang diperkirakan berlangsung pada bulan September 2009. Hampir kesemua anggota DPRA yang terpilih merupakan wajah baru, hanya segelintir saja anggota dewan periode 2004-2009 yang terpilih kembali untuk kedua kalinya menghuni gedung dewan yang megah.
Bersamaan dengan itu harapan dan ekspektasi yang sangat besar terhadap anggota dewan baru dari masyarakat yang merindukan perubahan yang menurutnya akan mempercepat terciptanya perubahan yang lebih baik untuk Aceh. Anggota dewan baru digadang-gadang sebagian masyarakat Aceh akan melakukan perubahan yang mendasar guna reformasi parlemen Aceh.
Bukan hendak menafikan kerja dan jasa dewan lama, pengharapan masyarakat Aceh akan perubahan dikarenakan anggota parlemen baru sekarang hampir separuh berasal dari partai lokal yang katanya mewarisi semangat lokal yang kental. Akan tetapi, berbarengan dengan ekspektasi itu, juga sebagian masyarakat menunjukkan keraguan dan bahkan ketakutan terhadap angggota parlemen baru yang dinilai belum berpengalaman dalam kancah politik karena kebanyakan pemain baru. Mereka yang menyatakan hal itu menyangsikan bahwa parlemen baru akan membawa harapan baru pula.
  • Menyelesaikan Prolega Aceh (program Legislasi Aceh), kewenangan dan anggaran publik sesuai dengan ruh dan semangat MoU Helsinki dan UUPA,
  • Reintegrasi belum berhasil sebagaimana yang direncanakan, oleh karena itu kebijakan pembangunan kedepan penting untuk memasukkan agenda-agenda perdamaian (reintegrasi) sebagai bagian dalam penganggarannya.
  • Memperbaiki komunikasi politik sebagai bentuk diplomasi dalam bernegosiasi antara Aceh dan Pusat. Khususnya menjaga dan mengimplementasikan optimalisasi kewenangan yang termaksud dalam mandat UUPA bagi kemakmuran rakyat Aceh.
  • Membentuk Panitia khusus dalam melakukan advokasi dan lobi kewenangan Aceh dan Pusat, dan dilakukan secara terus menerus.
  • Mengenai alokasi dana Migas/Otsus, dimana terjadinya pengurangan alokasi anggaran selama dua tahun belakang, parlemen Aceh yang baru harus menjaga dan mengawal jatah alokasi dana untuk pembangunan di Aceh.
  • Mengawasi perencanaan, perumusan serta pengawasan terhadap alokasi dan realisasi APBA setiap tahunnya, dengan lebih memprioritaskan program/kegiatan yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat secara adil dan merata.
  • Mengenai klausul UUPA yang urgen tetapi belum terealisasi, sebagai contoh pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) , dimana KKR ini sangat penting terutama dalam melakukan penelitian atau studi kasus-kasus yang terjadi pada masa lalu yang belum selesai, dan pelanggaran HAM di masa lalu.
  • Dan Persoalan konflik internal di masing-masing wilayah pedalaman di Aceh, seperti kasus pengunaan dan pembebasan (HGU) lahan masyarakat oleh PT. Bumi Flora Aceh Timur, yang tidak sesuai dengan nilai pembebasan lahan yang ditanda tangani oleh masyarakat.
Terlepas dari pro dan kontra itu, memang harapan baru pantas disandangkan kepada anggota dewan baru, karena mau tidak mau, suka tidak suka, merekalah yang akan memimpin Aceh lima tahun kedepan. Jadi, kepada mereka sepantasnya dititipkan harapan perubahan dan percepatan implementasi klausul MoU Helsinki dan UUPA yang belum terealisasi secara sempurna.

0 komentar:

Template x-template.blogspot.com