Rabu, 02 Februari 2011

Aplikasi Tiga Perspektif Human Security dalamProses Perdamaian untuk Aceh

Ada tiga perspektip dalam human security yaitu perspektif hak asasi manusia, perspektif humanitarian, dan perspektif pembangunan berkelanjutan.

Perspektif hak asasi manusia berlandaskan pada definisi luas human security
Yaitu meliputi berbagai dimensi hak asasi manusia. Ciri khusus dari perspektif ini adalah adanya jangkar aturan hukum dan konvensi internasional yang digunakan untuk menghilangkan masalah-masalah human security. Perspektif hak asasi manusia melihat bahwa ancaman utama bagi perspektif human security adalah penolakan hak-hak asasi manusia dan tidak adanya supremasi hukum (Donnelly, 1993: Lauren, 1998). Penganut perspektif hal asasi manusia selain berupaya memperkuat kerangka legal normatif di level regional dan global, juga berusaha untuk mempertajam dan memperkuat hukum hak asasi manusia serta sistem peradilan di level nasional. Bagi mereka, institusi internasional merupakan titik sentral untuk mengembangkan norma-norma hak asasi manusia yang pada akhirnya akan menimbulkan konvergensi di tingkat nasioanal sesuai dengan standard-standard dan peradilan yang terjadi di masing-masing negara.
Dalam konflik RI dengan GAM telah memakan banyak korban dari pihak sipil baik oleh pihak GAM maupun oleh pihak RI sendiri melalui Daerah Operasi Militer (DOM). Khususnya pada masa DOM (1989-1998), pasukan yang ditugaskan ke wilayah Aceh yang bergolak adalah pasukan satuan organis (sebanyak 12 kompi) dari pangdam Bukit Barisan yang di bantu oleh Satgas Intelegen (Kopassus). Pasukan yang dikirim untuk mengamankan wilayah konflik, dalam perkembanganya mengalami penyimpangan dari apa yang seharusnya mereka lakukan. Selama periode DOM berlaku, hukum tidak berlaku, sehingga keadilan sosial tak bisa diwujudkan. Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur, merupakan wilayah yang paling menderita akibat kekerasan militer dan pelanggaran HAM karena aparat keamanan tidak dapat membedakan antara rakyat biasa, GPK, MAUPUN GAM menyebabkan penderitaan bagi rakyat aceh.
Akibat DOM tersebut, ribuan anak menjadi yatim piatu, banyak rumah rusak atau dibakar, banyak istri yang menjadi janda, banyak orang cacat karena penganiayaan, dan korban jiwa pun sulit diperkirakan jumlah pastinya (ada versi yang menyebutkan jumlah korban DOM sekitar 35.000 jiwa). DOM juga menyebabkan pula perekonomian Aceh menjadi stagnasi, sehingga kondisi kehidupan rakyat sangat memperhatinkan. Hal ini sebagai akibat bahwa selama masa DOM sebagian besar rakyat aceh merasa ketakutan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Apalgi di daerah Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur sering terjadi perampasan harta benda, inimidasi, kekerasan dan bentuk-bentuk teror lainnya. DOM juga telah memperparah tingkat pendidikan di Aceh dibandingkan dengan daerah lainnya.
Status DOM Aceh di cabut pada tanggal 7 Agustus 1998 (masa pemerintahan Presiden Habibie). Setelah DOM dicabut yang bertepatan dengan terjadinya reformasi di Indonesia kondisi bukannya membaik justru wilayah konflik bertambah luas.
Setelah munculnya GAM (1976) telah banyak dilakukan operasi militer yang dilaksanakan oleh TNI/POLRI yang dikemas untuk tujuan memulihkan keamana di Aceh. Operasi-operasi itu adalah operasi Jaring Merah (OJM) atau yang lebih dikenal DOM (Daerah Operasi Militer) (1989-1998), Operasi (Satgas) wibawa 99, Operasi (Satgas) wibawa 99, Operasi Cinta Meunasah, Operasi Rajawali, Operasi PPRM (Pasukan Pengendali Rusuh Massa), dan lain-lain. Semua operasi yang di gelar ternyata tidak membuahkan kedamaian dan ketentraman bagi masyarakat Aceh. OJM atau DOM adalah aktualitas drama kekerasan, sehingga mendapatkan kencaman dari berbagai pihak. DOM menghasilkan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Aceh sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Sampai desember 1998 jumlah korban masyarakat sipil sekitar 5.000 jiwa dengan rincian sebagai berikut: pembunuhan 1321 orang, penyiksaan3430 orang, permekosaan 128 orang, pelecehan seksual 28 orang. Juga akibat DOM terdapat janda kehilangan suami sebanyak 1376, anak menjadi yatim piatu 4251 orang (berita Kontras, No. 15/th. Ke 3/VII/2002). DOM yang diberlakukan selama 10 tahun itu diselimuti oleh pelangaran HAM, pelanggaran kekerasan terhadap perempuan, pelanggaran kekerasan terhadap tahanan yang disangka GAM. Dalam catatan kmaruzzaman Bustaman-Ahmad (2003) terdapat 25 macam kekerasan pelanggaran HAM yang disebutnya tersadis.
Sebenarnya pada pemerintahan Habibie, Gusdur, Megawati telah mengupayakan berbagai langkah penyelesaian konflik Aceh di luar pengerahan kekuatan militer. Pada masa pemerintahan Habibie, misalnya terdapat program 10 langkah yang terkait dengan penyelesaian aceh dan membentuk komisi Indepeden Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. Tetapi Habibie tidak memasukan mengenai penyelesaian seluruh pelanggaran HAM sejak masa pemerintahannya ke pengadilan.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid dilakukan Peradilan Koneksitas Pelaku Pelanggaran HAM periode DOM di Aceh, dan memunculkan ide NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), seperti dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres)Nomor 04 Tahun 2001. Penyelenggaraan Peradilan Koneksitas terhadap kasus penembakan Teungku Bantaqiah yang digelar mulai 19 April 2000 memang pada akhirnya dapat memvonis pelaku lapangan yang membantai Teungku Bantaqiah beserta santrinya. Hanya saja peradilan koneksitas tersebut gagal membongkar motif peristiwa, pola-pola kekerasan yang digunakan, penanggung jawab tertinggi yang sebenarnya dari peristiwa pembantaian di Dayah Babul Mukaramah, BeutungAteuh, di wilayah Aceh Barat itu. Tetapi pada masa pemerintahan Gusdur ini masih menyertakan operasi militer yang mengakibatkan perpecahan di masyarakat sipil Aceh yang pro dan anti GAM.
Pada masa pemerintahan Megawati diberlakukan UU NAD sebagai jalan penyelesaian konflik Aceh. Dan juga upaya-upaya lain yaitu Jeda Kemanusiaan, Moraturium, COHA (Cessation of Hostilities Agreement) dan operasi terpadu dalam status Darurat Militer. Dan dalam masa pemerintahannya tidak memasukan penyelesaian konflik Aceh dengan menghukum para pelanggaran HAM dengan mengadakan pengadilan HAM AdHoc. Menurut saya tanpa adanya penyelesaian konflik Aceh dengan menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM maka konflik Aceh tidak akan menemui jalan damai. Menurut saya kekuatan militer memang dibutuhkan tetapi untuk memberikan rasa keadilan bagi rakyat Aceh bila pihak militer melakukan kesalahan harus mendapat hukuman. Agar pelanggara- pelanggaran HAM tidak terus terulang. Menurut saya dalam kasus konflik Aceh ini negara telah melakukan “pelanggaran karena tindakan” (violence by action) dan “pelanggaran karena pembiaran atau kelalaian” (violence by ommision). Pelanggaran karena tindakan karena Negara RI telah mengintervensi hak dan kebebasan rakyat Aceh, yang kedua karena negara RI membiarkan terjadinya suatu perbuatan melanggar hukum.
Perspektif humatarian meletakan perang sebagai ancaman utama bagi human security dan karena keselamatan individu di pandang sebagai tujuan utama pengembangan konsep human security. Perhatian utama dari penganut perspektif humanitarian adalah keselamatan masyarakatsipil yang terlibat dalam pertempuran (non-combatants) saat konflik senjata terjadi. Keselamatan non-combatants dilindungi dengan menegakkan hak moral dan legal non-combatants sekaligus menyediakan bantuan manusia.
Dengan melakukan operasi kemanusiaan yang bertujuan untuk kelancaran perekonomiaan masyarakat Aceh, bantuan terhadap korban konflik dan merehabilitasi daerah di Aceh. Dengan melakukan konsep kedaruratan (Emergency Action). Dengan melakukan langkah-langkah :
1. menetapkan daerah-daerah rawan konflik
2. menetapkan lokasi-lokasi tempat penampungan pengungsi dengan
mempertimbang aspek keamanan
3. Distribusi pangan dan pelayanan kesehatan menyalurkan pertolongan awal bagi
pengungsi yang mencakup : tempat penampungan sementara (TPS) penyediaan
makanan atau minuman, layanan kesehatan, layanan air bersih dan sanitasi,
layanan pemakaman, dibantu atau kerjasama dengan unsur-unsur keamanan
(TNI/POLRI).
4. Rehabilitasi korban masa DOM (Janda, anak yatim dan korban semasa operasi
militer).
Dan melakukan Recovery (perbaikan) untuk Aceh di masa yang akan datang dengan :
1. Pengetasan kemiskinan
2. Penyediaan lapangan pekerjaan
3. Perbaikan unit-unit sosial dab rumah penduduk yang rusak
4. Penyediaan transportasi yang murah bagi masyarakat Aceh
5. Rehabilitasi sektor pertanian yang rusak
6. Rehabilitasi jalan
7. Penyediaan lahan pertaniaan bagi penduduk miskin
8. Pendidikan
Juga mengadakan Operasi Penegakan Hukum digelar untuk mengembalikan tatanan kehidupan kenegaraan di Aceh yang tertib, teratur dan berwibawa sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dan untuk melindungi anggota GAM-noncombatan supaya idak terlibat peperangan dalam penggunaan senjata. Operasi Penegakan Hukum ini berguna untuk membedakan mana combatan dan mana noncombatan. Masalahnya pada periode DOM banyak warga sipil yang menjadi korban, ketika TNI menyerang suatu desa yang dianggap sebagai markas GAM dan anggota GAM tidak ditemukan maka TNI menyerang atau mengusir masyarakat desa itu, ini menimbulkan presepsi bahwa semua orang Aceh adalah GAM. Ini juga diperkuat dengan razia orang-orang Aceh dijakarta dan kenyataan bahwa mayoritas anggota GAM berasal dari keluarga-keluarga yang menjadi korban kekerasan atau pembunuhan yang dilakukan oleh TNI. Dengan kata lain bahwa banyak rakyat Aceh yang menjadi pendukung GAM sehingga sulit sekali menumpas para anggota GAM. Untuk mengurangi terjadinya lagi banyak korban dari masyarakat sipil atau noncombatan maka diperlukan operasi penegakan hukum. Jadi operasi penegakan hukum ini harus harus didasari oleh prinsip diskriminasi yang mengandung 3 komponen yaitu larangan tentang serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain, bahkan seandainya target serangan adalah sasaran militer, serangan terhadap target tersebut tetap dilarang jika ’’ may be to civilians object or combination there of, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated’’, jika terdapat pilihan dalam melakukan serangga, minimalisasi korban dan kerusakan atas obyek-obyek sipil harus menjadi prioritas.
Perspektif pembangunan berkelanjutan memberikan definisi yang ekspensif bagi konsep human security yang meliputi dimensi ekonomi, kesehatan, pangan, lingkungan hidup, individu, komunitas serta politik. Perspektif ini juga melihat ancaman utama bagi human security adalah kemunculan isu-isu transnasional seperti HIV-AIDS, penyelundupan obat terlarang, terorisme, kemiskinan global, serta degradasi lingkungan hidup. Isu-isu ini cenderung tidak dapat diselesaikan secara lokal sehingga dibutuhkan suatu cara pandang serta kerjasama global baru untuk mengatasinya.
Salah satu kelompok yang berperan dalam konflik Aceh adalah kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik yang berada di Aceh, di Jakarta maupun berasal dari luar negeri. LSM yang berasal dari luar negeri adalah LSM yang berdomisili di New York, Amerika Serikat yang bernama Internasional for Aceh (IFA) yang dipimpin oleh M. Jaffar Sidik. IFA merupakan sebuah LSM yang secara akktif mensosialisasikan pentingnya masalah Aceh agar diselesaikan melalui dunia internasional. Solusi IFA dalam penyelesaian Aceh sama dengan SIRA (Sentra Informasi Referendum Aceh) dan GAM yaitu merdeka. LSM berskala internasional yang sangat perhatian terhadap masyarakat Aceh adalah Internasional Crissis Group in Indonesia (ICGI) di bawah pimpinan Sydney Jones. ICGI secara aktif menghimbau agar menghentikan bentuk kekerasan yang terjadi di Aceh, karena semua itu tidak akan dapat menyelesaikan masalah Aceh secara tuntas dan damai.
CoHA (The Cessation of Hostilities Agreement) atau kesepakatan penghentian permusuhan yang ditandatangani tanggal 9 Desember 2002 di Gedung Hendry Dunant Centre (HDC) di tepi Danau Geneva Swiss yang bertindak sebagai fasilisatornya. Secara garis besar kesepakatan CoHA ini berisi sembilan pasal, yaitu :
1. Tujuan penghentian permusuhan dan segala tindakan kekerasan;
2. Komitmen kedua belah pihak untuk menghentikan permusuhan dan segala
Tindak kekerasan;
3. Pembentukan Komite Keamanan bersama (Join Security Comitte);
4. Pembentukan zona damai;
5. Penetapan kerangka waktu (tiga bulan pertama sebagai indikator keseriusan
komitmen);
6. Pelaksanaan forum All Inclusive Dialoque;
7. Pemberian informasi publik dan komunikasi kepada masyarakat Aceh
8. Pembentukan Dewan Bersama (Joint Council) untuk memecahkan segala
persoalan dan perselisihan dalam implementasi perjanjian;
9. Tata cara melakukan amademen atau pengakhiran atas kesepakatan yang
telah ditetapkan (Jika Joint Council tidak sanggup menyelesaikan
permasalahan, maka salah satu pihak berhak menarik diri dari perjanjian).
Pembentukan Komite Keamanan Bersama (KKB) atau Joint Security Council, dimana formulasi kerja dari badan yang dibentuk dan terdiri dari perwakilan RI, GAM dan pihak ketiga (yang disetujui kedua belah pihak mewakili HDC) ini masih belum signifikan mampu menjamin terlaksananya proses damai secara serius. Mengacu dari pasal 3 huruf (b) CoHA (The Cessation of Hostilities Agrerement) diatas,KKB atau disebut juga dengan Joint Security Committee memiliki fungsi dan kewenangan sebagai berikut:
1. Untuk merumuskan implementasi perjanjian ini;
2. Untuk memonitor situasi keamanan di Aceh;
3. Untuk melakukan investigasi penuh terhadap segala pelanggaran keamanan;
4. Dalam kasus-kasus yang demikian, untuk mengambil tindakan yang tepat untuk memulihkan situasi keamanan dan untuk terlebih dahulu membuat kesepakatan mengenai sanksi-sanksi yang diterapkan, jika salah satu pihak melanggar perjanjian ini;
5. Untuk bahwa tidak ada pembentukan pasukan paramiliter baru yang mengambil alih fungsi-fumgsi yang sebelumnya dijalankan Brimob;dan
6. Untuk merancang dan mengimplementasikan proses demiliterisasi yang disepakati bersama;
Dalam kenyataannya, JSC yang dipimpin oleh Mayjen Thanongsul Tuvinum ketika menemukan kasus-kasus pelanggaran di tingkat lapangan hanya mampu menerbitkan daftar kasus-kasus dan mengumumkan kepada publik bahwa mereka telah menyatakan sikap penyesalan atas pelanggaran itu. Selain itu, lemahnya signifikansi JSC dalam mengengahi dan meminimalisir berbagai persoalan pelanggaran kesepakatan adalah kunci mengapa akhirnya proses sakral menciptakan kestabilan Aceh dalam damai harus berakhir tanpa hasil yang menggembirakan.
Terdapat beberapa faktor mendasar mengapa Cesseation of Hostilities Aceh (CoHA), yang sebelumnya diramalkan akan membawa perubahan yang signifikan terhadap terciptanya kedamaian di Aceh akhirnya mengalami kegagalan. Secaran umum hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ketiadaan, baik peranan maupun pressure dari komunitas Internasionsal sebagai
upaya menghasilkan intervensi terhadap pelaksanaan kerangka damai yang
dijalankan kedua belah pihak dalam upaya menbangkitkan tanggung-jawab
pemerintahan RI untuk menyelesaikan konflik secara damai.
2. Tidak berfungsinya atau bahkan ketiadaan kekuatan sipil yang menjadi patron yang
akan menunjukkan bahwa sipil memiliki kepentingan terhadap jalannya kesepakatan
damai.

0 komentar:

Template x-template.blogspot.com