Selasa, 01 Februari 2011

Tentang Jejak dan Janji

Memasuki wilayah Lhokseumawe, ada yang berbeda dari tepian jalur utama Banda Aceh-Medan sejak awal 2008. Ada bagian jalan yang masih pengerasan, ada bagian yang sudah dipasang batangan besi. Awal Agustus silam, di Krueng Geukuh, ibu kota Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, berdiri bangunan yang disiapkan sebagai stasiun, lengkap dengan gerbong kereta yang belum beroperasi. Jalur Bireuen-Lhokseumawe adalah jalur pertama yang dibangun dalam program Trans Sumatera Railway Development ini.
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, jaringan rel diharapkan selesai akhir tahun 2021. Total anggaran bisa mencapai sekitar Rp 7,26 triliun hanya untuk kebutuhan pembangunan jaringan rel kereta api, belum termasuk anggaran untuk pembebasan tanah rakyat dan armada.
Pembangunan jalur kereta api Bireuen-Lhokseumawe seolah membangkitkan kenangan lama. Data PT Kereta Api menyebutkan, pada masa lalu jalur Atjeh Tram dibangun pertama kali oleh Belanda tahun 1875, berselang sembilan tahun dari pembangunan kereta api di tanah Jawa. Masa itu, kereta api Aceh digunakan untuk mendukung gerakan tentara Belanda menumpas perlawanan rakyat Aceh. Kepentingannya lebih untuk perang ketimbang ekonomi dan sosial.
Barulah setelah perlawanan rakyat Aceh surut dengan tertangkapnya Cut Nyak Dhien pada 1904, perkeretaapian di Aceh mulai diserahkan kepada pemerintahan sipil pada tahun 1917 dan resmi dikelola Staatspoorwegen. Sayang, tahun 1978, karena nilai ekonominya terus menurun dan suku cadangnya sulit, kereta api tak lagi beroperasi di Aceh. Lokomotif dan salah satu gerbong barang dari kereta api yang diletakkan di monumen di Jalan Sultan A Mahmudsyah, Banda Aceh, adalah pengingat kehadiran kereta api di Aceh.
Lebih dari sepuluh tahun silam, pascareformasi 1998, Presiden BJ Habibie sempat menjanjikan pembangunan kembali jalur kereta api. Pada 2002 sempat dibuat Rencana Umum Pengembangan Kereta Api Sumatera yang merupakan kesepakatan para gubernur seluruh Sumatera. Namun, pembangunan baru belakangan dimulai.
Pada 15 April 1999, Menteri Perhubungan Giri Suseno menyatakan, bakal dibangun fasilitas transportasi di Aceh yang meliputi perpanjangan landasan Bandara Sultan Iskandar Muda; pembangunan Pelabuhan Sabang, Lhokseumawe, dan Kuala Langsa; serta pembangunan kembali jaringan kereta api.
Sekalipun jalur kereta api nantinya rampung terbangun, Lhokseumawe telanjur tak sama lagi dengan era 1980-an, misalnya. Pada masa-masa keemasan itu, kota dihidupkan seiring dengan investasi besar yang masuk ke Aceh sejak 1970-an. Pada era Orde Baru, sejumlah perusahaan multinasional masuk ke Aceh menanam investasi.
Kini industri besar di Lhokseumawe satu demi satu berguguran. Operasi pabrik Kertas Kraft Aceh mandek. Pabrik Pupuk Iskandar Muda sulit mendapatkan pasokan gas alam yang stabil untuk menjaga kelangsungan industri. Aceh Asean Fertilizer sudah tutup. Praktis hanya ExxonMobil yang masih beroperasi sampai kini.
Sabang semakin sepi
Melengkapi gambaran lebih luas mengenai Aceh, tengok pula Kota Sabang saat ini. Suasana Pulau Weh di ujung barat wilayah Indonesia itu terasa semakin sepi, amat berbeda ketika Sabang dengan pelabuhan bebasnya sedang berada di masa jaya. Pada akhir 1970-an sampai awal 1980-an, lalu lintas perdagangan yang padat membuat orang ramai beraktivitas di Sabang. Saat itu, uang bisa diperoleh relatif gampang di Sabang.
Bukan semata-mata dari perdagangan, harga cengkeh, dan pinang sedang lumayan tinggi. Membeli emas puluhan mayam (satuan lokal untuk setiap tiga gram emas) bukan hal sulit buat warga Sabang. ”Sekarang ini tidak ada apa-apanya. Tapi sudahlah, yang lalu sudah tidak mungkin kembali, buat apa diingat-ingat,” kata Bang Jack, warga Gapang, Kota Sabang.
Masih terekam di ingatan: pada 6 Desember 2000, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri meresmikan penancapan tiang pancang dermaga Pelabuhan Sabang. Perjalanan berikutnya, membangkitkan kembali Sabang terus menjadi obsesi. Misalnya, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memuat ketentuan yang memperkuat dan memperjelas status Sabang sebagai daerah perdagangan dan pelabuhan bebas. Status itu sebenarnya memungkinkan Sabang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari tata niaga, pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, serta pajak penjualan atas barang mewah. Namun nyatanya kini, kejayaan Sabang belum kunjung kembali.
Mantan Pejabat Sementara Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Mustafa Abubakar pernah mengatakan, sampai sekarang rakyat Aceh masih dibuai dengan berbagai dongeng dan cerita mengenai kejayaan masa lalu. Orang Aceh teramat bangga dengan heroisme dan kejayaan masa lalu. Yang selalu jadi rujukan, di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Aceh masa lalu menjadi salah satu kerajaan yang disegani di dunia.
Namun sepanjang perjalanan Aceh bersama Indonesia, ketegangan antara pusat dan daerah dengan diwarnai konflik dan kekerasan seolah menjadi lagu lama. Masa ”rekonsiliasi” juga telah memberikan kesempatan lebih terbuka bagi siapa pun untuk membangun Aceh. Setidaknya pada akhir 2006, Aceh menjadi pionir kehadiran calon perseorangan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah—salah satunya untuk mengakomodasi masuknya eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke panggung politik.
Terbukanya kesempatan bagi semua itu pula yang membuat tebaran janji untuk Aceh semakin menumpuk. Seiring waktu: ada janji, ada jejak yang bisa ditelusur suatu saat nanti. Sepanjang jejak itu pula tersebar janji. Berjalan bersama masa depan, rakyat Aceh pun (terus) menanti dan menagih bukti.

0 komentar:

Template x-template.blogspot.com