Rabu, 02 Februari 2011

Status Wali Nanggroe Aceh Dibicarakan di Hawaii

MENJELASKAN posisi Wali Nanggroe dalam peta sosial-politik Aceh pasca perjanjian damai Helsinki jelas merupakan pekerjaan yang tak mudah.
Apalagi, kesepakatan damai yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tanggal 15 Agustus 2005 lalu tidak menyebutkan secara rinci apa dan bagaimana rupa lembaga Wali Nanggroe.
Tulisan ini sambungan dari tulisan sebelumnya: Membongkar Perjuangan Hasan Tiro.
Poin ketujuh dari butir pertama MoU perdamaian itu yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan Aceh hanya menyebut bahwa “Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.”
Dari kalimat ini tampaknya Wali Nanggroe hanya diposisikan sebagai bagian dari kebudayaan dan tradisi masyarkat Aceh.
Padahal secara historis Wali Nanggroe justru merupakan pusat dari ideoleogi GAM. Hasan di Tiro yang mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember 1976 menggunakan klaim historis yang ditarik ke masa pemerintahan Wali Nanggroe Tengku Syeh Muhammad Saman yang juga dikenal dengan nama Tengku Cik di Tiro antara tahun 1874 hingga 1891.
Saat mendeklarasikan kemerdekaan Aceh di tahun 1976 itu, Hasan di Tiro juga mendeklarasikan dirinya sebagai Wali Nanggroe yang mewariskan kekuasaan dari pamannya, Tengku Maat di Tiro yang tewas ditembak Belanda tanggal 3 Desember 1911.
Kini DPRD NAD tengah membahas rancangan kanun (peraturan daerah) Wali Nanggroe. Kedatangan Hasan di Tiro ke Aceh bulan Oktober ini pun antara lain dimaksdukan sebagai bagian dari upaya Pansus Kanun Wali Nanggroe untuk mencari “bentuk baru” lembaga Wali Nanggroe setelah kedua pihak yang bertikai selama tiga dekade sepakat untuk berdamai.
Perihal apa dan bagaimana rupa Wali Nanggroe yang disepakati pemerintah Indonesia dan pihak GAM juga sempat menjadi sorotan dalam konferensi internasional bertema “Aceh Beyond Tsunami” yang diselenggarakan di kompleks East West Center (EWC) di Honolulu, Hawaii (Selasa, 21/10).
Konferensi ini digelar oleh Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS (Permias) cabang Hawaii dan Asosiasi Internasional Mahasiswa Aceh, serta East West Center dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), serta sejumlah organisasi lain.
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar Raniry, Prof. Yusni Saby, juga membenarkan bahwa upaya mendefinisikan posisi Wali Nanggroe memang bukan hal mudah. Setelah kesepakatan damai tercapai, sebutnya, satu-satunya jalan yang tersedia untuk menentukan bentuk dan sifat Wali Nanggroe adalah lewat parlemen daerah dengan persetujuan pemerintah pusat.
“Ini bukan perkara yang mudah. Bahkan di antara orang Aceh sendiri. Kami sungguh berharap bisa menemukan definisi yang tepat mengenai Wali Nanggroe ini,” katanya saat berbicara di dalam konferensi.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri, Andri Hadi, juga sependapat dengan Prof. Yusni Saby.
Wali Nanggroe sampai sekarang masih jadi isu yang kontroversial, bahkan di kalangan politisi Aceh, katanya.
“Beberapa kalangan menilai Wali Nanggroe harus memiliki power atau kekuatan, bahkan termasuk dalam hal memberhentikan gubernur Aceh bila dianggap melakukan sesuatu yang salah. Sementara pandangan lain menilai Wali Nanggroe adalah bagian dari budaya yang ditinggalkan kerajaan Aceh. Jadi ia lebih merupakan bagian dari kegiatan seremoni atau upacara,” ujar Andri lagi.
Andri dan Yusni sepakat, semua pihak yang menginginkan perdamaian abadi di Aceh harus duduk bersama dan membicarakan hal ini dengan serius.
Pada bagian lain, baik Prof. Yusni yang juga mewakili pemerintah Aceh maupun Andri merasa bersyukur karena Hasan di Tiro telah meminta seluruh rakyat Aceh mendukung deklarasi damai tersebut.

0 komentar:

Template x-template.blogspot.com