Rabu, 02 Februari 2011

Membongkar Perjuangan Hasan Tiro

SABTU, 30 Oktober 1976, sekitar pukul 8.30 pagi. Perahu yang ditumpangi Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah desa nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Foto diambil The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. 
Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeun.
“Itu adalah malam pertama di tanahairku setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika Serikat,” tulis Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diterbitkan tahun 1984.
Itu adalah kunjungan rahasia dengan misi tunggal memerdekakan Aceh.
“Tak ada seorang pun di negeri ini yang mengetahui kedatanganku,” tulis Hasan Tiro.
“Aku sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.”
Maka begitulah, di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Dan tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan.
“Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanahair kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan…”
Catatan: Teks di atas merupakan paragraph pertama dari Deklarasi Kemerdekaan Aceh yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. Teks asli adalah sebagai berikut:
“We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of 
self-determination, and protecting our historic right of eminent 
domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and 
independent from all political control of the foreign regime of 
Jakarta and the alien people of the island of Java. Our 
fatherland, Acheh, Sumatra, had always been a free and independent 
Sovereign State since the world begun…”
Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925. Dia memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional dari Colombia University. Di negeri itu ia menikah dengan Dora seorang wanita Amerika Serikat keturunan Yahudi. Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini dalam bukunya The Price of Freedom.
Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Hasan Tiro memprotes tindakan itu. Bulan September 1954 dia mengirimkan sepucuk surat kepada sang perdana menteri
Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI. Dia bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Tasikmalaya, 7 Agustus 1949. Di DI/TII Aceh Hasan Tiro menjabat sebagai menteri luar negeri, dan karena jaringannya yang dianggap luas di Amerika Serikat dia pun mendapat tugas tambahan sebagai “dutabesar” di PBB.
Setidaknya ada beberapa sebab praktis yang ikut mendorong pemberontakan DI/TII yang secara bersamaan terjadi di tiga propinsi, Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pertama berkaitan dengan rasionalisasi tentara. Banyak tentara dan laskar rakyat yang ikut berjuang dalam perang revolusi tidak dapat diakomodasi sebagai tentara reguler. Kedua, pemberontakan ini juga merupakan ekspresi kekecewaan terhadap hubungan pemerintahan Sukarno yang ketika itu semakin dekat dengan kubu komunis.
Di tahun 1961 Daud Beureuh mengubah Aceh menjadi Republik Islam Aceh (RIA). Tetapi di saat bersamaan, gerakannya mulai melemah setelah SM Kartosoewirjo dilumpuhkah. Adapun Kahar Muzakar dinyatakan tewas dalam sebuah pertempuran di belantara Sulawesi tahun 1965.
Adalah Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin, yang berhasil meyakinkan Daud Beureuh untuk kembali bergabung dengan Republik Indonesia. Tanggal 9 Mei 1962 Daud Beureuh ditemani antara lain komandan pasukannya yang setia, Tengku Ilyas Leube, pun turun gunung. Bulan Desember perdamaian dirumuskan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.
Menurut Serambi Indonesia (25/9) setelah pemberontakan DI/TII melemah, Hasan Tiro ikut melunak. Pertengahan 1974 dia kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun.
Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
Foto diambil dari The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. Beberapa saat sebelum Hasan Tiro kembali ke Aceh bulan Oktober 1976. Caption foto tertulis sebagai berikut:
From right: Secretary General of the United Nations, Dr. Kurt Waldheim; Ambassador of France; H. H. Tengku Hasan di Tiro, President of Doral International Ltd. and Chairman of Atjeh Institute in America; Philippine Ambassador for the U.N. On the occasion of the signing of International Tin Agreement, 1976, at the United Nations Headquarters in New York. Photo by Gamma Diffusion, Paris. 

Hasan Tiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka.
Kekecewaannya pun semakin bertambah setelah syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureuh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.
Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat.
Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar. Dan begitulah, akhirnya kaki Hasan Tiro kembali menginjak Aceh di pagi hari, 30 Oktober 1976.

0 komentar:

Template x-template.blogspot.com