Selasa, 01 Februari 2011

Kenapa Hasan Tiro Berontak

UNTUK kedua kalinya “Wali Nanggroe” Tgk. Hasan Tiro kembali ke Aceh setelah oktober 2008 lalu. Kepulangannya kali ini sekedar bersilaturrahmi pasca MoU. Begitu pun menarik dikaji meskipun pertikaian antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan Pemerintah Republik Indonesia, sudah damai ditandai penandatangan Memorandum of Understanding pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Tentang motivasi penyebab pemberontakan yang digagas oleh Hasan Tiro tersebut, tentu masih layak diketahui umum. Dokumen tentang berkait dengan pemberontakan GAM sendiri masih sangat sedikit. Dan setelah saya analisis, dari beberapa dokumen, setidaknya ada tiga alasan yang melatari Hasan Tiro berontak. Sebelumnya saya urai secara singkat satu perkembangan amat penting dalam sejarah Aceh yang merupakan punca utama kesalahfahaman dalam menafsirkan sejarah Aceh, yaitu penandatanganan “Traktat London” antara Belanda dengan Inggris. Dalam perjanjian itu kedaulatan Inggris di Sumatera diserahkan kepada Belanda, dan sebaliknya Belanda menyerahkan tanah jajahannya di India dan Singapura kepada Inggris.
Bagaimanapun pada masa itu Belanda setuju mengakui Aceh sebagai sebuah negara merdeka. Pengakuan Belanda itu tidak diinginkan oleh Inggris. Maka pada tahun 1871 Inggris memberi restu kepada Belanda untuk mengadakan penjajahan terhadap Aceh. Hal itu menyebabkan Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. (Lihat buku R.O. Winstedt ( 1935), A History of Malaya).
Perang antara Aceh dengan Belanda sebagai riwayat peperangan yang panjang dan menelan korban paling banyak. Pihak Belanda meminta bantuan tentera dari Amerika Serikat untuk menggempur Aceh, namun ketika pemerintah AS menolak karena menganggap Aceh adalah satu bangsa merdeka. Aceh sejak dulu telah ada hubungan baik dengan AS, baik bidang perdagangan maupun hubungan diplomatik. Sedangkan Turki telah mengirimkan bala tenteranya untuk membantu peperangan Aceh. Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa Aceh adalah sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat.
Ada tiga alasan kenapa Tgk. Hasan Tiro berontak. Pertama, menurut Hasan Tiro ketika Hindia Belanda berubah menjadi Indonesia, Aceh tidak secara otomatis menjadi wilayah yang diserahkan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS adalah negara-negara federasi yang dibentuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus. J. Van Mook yaitu wilayah-wilayah yang telah takluk kepada Pemerintah Belanda, dan wilayah Aceh ketika itu tidak bisa dikuasai Belanda. RIS terbentuk hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yaitu Republik Indonesia, Bijeekomst Voor Federaal Overleg (BFO) dan Belanda yang disaksikan oleh United Nations Commission For Indonesia (UNCI). Aceh tidak pernah disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara RIS (Republik Indonesia Serikat) 14 Desember 1949. Dalam pasal 2 Undang-undang Dasar RIS tidak menyebutkan Aceh sebagai bagian dari RIS ataupun negara bagian Indonesia. Menurut pasal 65 UUD RIS, suatu wilayah dianggap sebagai bagian daripada suatu negara mesti ada kontrak antara keduanya.
Aceh tidak pernah ada kontrak yang sah dengan negara bagian Indonesia. Berbeda dengan Kesultanan Yogjakarta dan Paku Alam. Pecahan kerajaan Jawa Mataram itu, pada tanggal 19 Agustus 1945 yang mengadakan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ketika itu bernama Yogjakarta Kooti Kokootai. Di situlah diputuskan bahwa wilayah Yokjakarta dan Paku Alam sebagai bagian daripada Negara Indonesia. Bagaimanapun pada 27 Desember 1949, pihak Belanda yang tidak pernah menaklukan Aceh telah menandatangani “satu perjanjian” yaitu memberi hak kepada Indonesia untuk menguasai Aceh dan wilayah-wilayah lain di luar pulau Jawa.
Menurut pemikiran politik Teungku Hasan Tiro, perjanjian antara Belanda dan Jawa inilah yang menjadi alat pemindahan kekuasaan Belanda kepada RIS, dan yang menjadi sumber kekuasaan RIS terhadap Aceh. Menurut hukum internasional pemindahan kekuasaan itu tidak sah karena Belanda sebagai penjajah tidak mempunyai apa-apa hak legal atas tanah-tanah yang dirampas, maka Indonesia pun tidak punya hak legal atas tanah Aceh. Karena Aceh secara sejarah tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Hindia Belanda sehingga Aceh sampai kini masih berdaulat.
Kedua, alasan yang didasarkan kepada konvensi PBB. Artikel 1, bagian 2 dan 55, Piagam Hak Bangsa-bangsa (Universal Declaration of The Rights of The People), pasal 5,6 dan 11, Piagam Hak-hak Asasi manusia, Piagam Hak Ekonomi, Kemasyarakatan dan Kebudayaan (International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights), dan menurut Piagam Hak Umum dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), disebutkan “semua bangsa di dunia mempunyai hak menentukan nasib diri sendiri dan hak kemerdekaan” Menurut Hasan Tiro pula, Aceh beradasarkan resolusi PBB No: 1514 – XV yang dihasilkan pada 14 Desember 1960 mengenai: “Declaration of the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples”.
Ada tiga perkara penting dalam resolusi itu; Kedaulatan atas tanah jajahan tidak berada ditangan penjajah, melainkan berada di tangan bangsa asli dari jajahannya. Kedaulatan suatu negara tidak dapat dipindah / diserahkan oleh penjajah kepada penjajah yang lain. Semua kekuasaan wajib dikembalikan oleh penjajah kepada bangsa asli dari tanah jajahannya. Negara Aceh yang didekralasi oleh Teungku Hasan Tiro pada 4 Desember 1976 adalah gagasannya sejak Januari 1965. Sejak itu beliau berpendapat bahwa negara Aceh adalah negara yang telah ada sejak dulu dengan keluasan wilayah yang sama, menjalankan dasar hukum yang sama, dengan sistem negara yang sama, yaitu Islam.
Itulah hakikat ideologi perjuangan GAM sejak digagas Hasan Tiro. Malah ketika dekade 50-an Hasan Tiro pernah menggegerkan Indonesia dengan satu ide dalam buku Demokrasi Untuk Indonesia, bahwa Pancasila sebagai asas negara Indonesia bukanlah falsafah, ia hanya sebagai lambang yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa Islamlah yang dijadikan falsafah hidup dan ideologi negara karena ia hidup dan berakar dalam masyarakat Indonesia. Dengan mengakui Islam sebagai asas persatuan Indonesia, tidaklah berarti menafikan golongan rakyat Indonesia yang beragama non-muslim.
Idiologi Islam Hasan Tiro tersebut menjadi sisi penting di tengah mainstream penolakan asas Islam bagi mantan kombatan GAM yang mendeklarasikan partai politik lokal (Partai Aceh) beberapa waktu lalu sebagai transformasi perjuangan dari gerakan bersenjata ke perjuangan politik. Meski ada juga pihak yang tidak kaget atas sikap “anak buah” Hasan Tiro, karena dianggap pandangan politik Hasan Tiro itu adalah sikapnya pada masa awal pemberontakan guna mendapat dukungan tokoh-tokoh ulama, khususnya mantan pejuang DI/TII pimpinan Abu Beureu-eh.
Ketiga, alasan realitas sosial orang Aceh. Sejumlah pengamat mengatakan, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Aceh disebabkan oleh tidak adanya keadilan yang dirasakan oleh orang Aceh. Perkara inilah yang menjadi alasan utama Hasan Tiro untuk memerdekakan Aceh (berontak). Jadi bukan semata-mata aspek sejarah dan hukum. Bagi pihak yang kontra dengan Hasan Tiro menyebutkan bahwa keinginan Teungku Hasan Tiro untuk memproklamirkan kembali kemerdekaan Aceh sangat bersifat pribadi. Hasan Tiro disebut kecewa terhadap pemerintah Muzakir Walad (Gubernur Aceh) yang tidak memberikan kesempatan menjadi kontraktor pembangunan proyek tambang gas Arun kepadanya di Aceh pertengahan 1974 lalu. Tentu saja alasan ini dibantah oleh para petinggi GAM, dan menyebutnya sebagai propaganda pemerintah Indonesia untuk menjatuhkan reputasi Hasan Tiro dan GAM di mata rakyat Aceh dan masyarakat dunia.
Syahdan, pemberontakan GAM selama 30 tahun hakikatnya adalah manifestasi dari pemikiran Hasan Tiro. Bahwa perjuangan GAM untuk mewujudkan negara bersambung (successor state). Aceh sebagai satu Kerajaan yang pernah ada dalam catatan sejarah negara-negara di dunia. Namun apa nyana, lahirnya MoU Helsinki untuk damai di Aceh dan UUPA sebagai peraturan organik telah menguburkan semua doktrin sejarah dan hukum bahwa Aceh sebagai negara berdaulat. Sebab dalam alinia kedua mukaddimah MoU Helsinki, disebutkan bahwa Aceh adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masyarakat Aceh adalah Warga Negara Republik Indonesia. Hanya saja sebagai satu peristiwa sejarah dan politik, gagasan Hasan Tiro yang berwujud dalam sebuah Gerakan Aceh Merdeka patut terus didiskusikan. Allahu ‘Alam

0 komentar:

Template x-template.blogspot.com